Urgensi Kementrian Zakat dan Wakaf - Menarik sekali jika kita cermati pembahasan Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Kementerian Negara—atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pansus RUU Kementerian Negara DPR RI—beberapa waktu lalu, dimana telah disepakati sejumlah pos kementerian negara, baik yang bersifat portofolio maupun non portofolio. Secara keseluruhan, Pansus telah membahas 31 kementerian negara, mencakup 21 kementerian negara portofolio dan 10 kementerian negara non portofolio. Menarik sekali jika kita cermati pembahasan Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Kementerian Negara—atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pansus RUU Kementerian Negara DPR RI—beberapa waktu lalu, dimana telah disepakati sejumlah pos kementerian negara, baik yang bersifat portofolio maupun non portofolio. Secara keseluruhan, Pansus telah membahas 31 kementerian negara, mencakup 21 kementerian negara portofolio dan 10 kementerian negara non portofolio. Menurut rencana, pembahasan tersebut akan dirampungkan pada masa persidangan akhir DPR RI periode 1999-2004, yaitu pada bulan September 2004 ini. Dengan demikian, maka Presiden RI mendatang tidak akan dengan mudah merubah atau mengotak-atik susunan kementerian yang ada sesuai dengan kepentingan pribadinya. Penulis tidak bermaksud mengomentari susunan kementerian yang ada, tetapi penulis ingin melemparkan sebuah gagasan kementerian baru yang mungkin luput dari perhatian Pansus, yaitu kementerian zakat dan wakaf. Penulis menyadari bahwa gagasan ini bisa saja menimbulkan pro dan kontra, namun paling tidak, para anggota Pansus diharapkan berkenan untuk mempertimbangkan usulan ini.
Potensi Zakat & Wakaf yang luar biasa
Jika kita telaah secara cermat, maka dapat disimpulkan bahwa potensi zakat dan wakaf di Indonesia sangatlah besar. Berdasarkan data yang ada, potensi zakat di negeri ini mencapai 7 trilliun setiap tahunnya. Belum lagi ditambah dengan potensi wakaf, terutama wakaf tunai, yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai aktivitas yang produktif, termasuk mengentaskan problematika kemiskinan di Indonesia. Kita mengetahui bahwa masalah kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia. Tidak kurang dari 7 persen penduduk Indonesia hidup dengan pendapatan per kapita dibawah 1 dolar AS setiap harinya, dan sekitar 50 persen lainnya hidup dengan tingkat pendapatan per kapita kurang dari 2 dolar AS setiap harinya. Padahal, kalau kita melihat potensi kekayaan alam Indonesia, maka sesungguhnya kita memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Demikian besarnya potensi kekayaan alam kita, sampai-sampai—meminjam istilah Jaya Suprana—rumput pun bisa dijadikan sebagai sumber bisnis. Namun demikian, akibat salah urus dan salah kelola, segala potensi yang hebat itu belum dapat dimanfaatkan dan dioptimalkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu, segala potensi yang dapat memungkinkan terbebaskannya bangsa ini dari himpitan masalah ekonomi, harus menjadi prioritas kita bersama. Diantara potensi tersebut adalah potensi zakat dan wakaf yang sedemikian besar, namun belum mendapat perhatian yang memadai. Padahal, menurut penulis, jika saja dana zakat dan wakaf ini mampu dikelola dengan baik, maka paling tidak, akan mampu mereduksi tingkat kemiskinan di Indonesia. Malaysia pun telah membuktikan, bahwa pengelolaan zakat yang tepat dan terpadu mampu membantu upaya pengentasan kemiskinan yang ada. Kita pun menyadari bahwa masalah kemiskinan ini adalah masalah pelik yang harus dijadikan sebagai musuh bersama bangsa ini. Bahkan menurut Juan Somavia, salah seorang ekonom, bahwa “the unfinished business of the 21st century is the eradication of poverty� (United Nations World Summit for Social Development, 1995). Masalah kemiskinan telah menjadi momok yang menakutkan dunia, apalagi jika melihat fakta, bahwa sekitar 1,2 milyar populasi dunia hidup dengan pendapatan dibawah 1 dolar per hari dan hampir 2,8 milyar lainnya hidup dengan pendapatan dibawah 2 dolar per hari. Sungguh merupakan angka yang mengerikan. Sementara ketimpangan semakin menjadi-jadi, dimana 15 persen penduduk dunia menghasilkan pendapatan 80 persen dari total pendapatan dunia, sedangkan 85 persen lainnya hanya menerima penghasilan 20 persen saja (Michael P Todaro, 2002). Kembali berbicara mengenai kondisi Indonesia, menurut penulis, sudah saatnya pemerintah lebih memperhatikan potensi dalam negeri didalam upaya mengentaskan kemiskinan. Momentum pemilihan langsung Presiden / Wapres ini harus dijadikan sebagai titik tolak penegakan komitmen pemberantasan kemiskinan yang semakin akut di negara ini. Untuk itu, presiden mendatang harus menjadikan agenda pemberantasan kemiskinan sebagai agenda utama kabinet, disamping agenda lain tentunya seperti pemberantasan korupsi. Sektor zakat dan wakaf harus mendapat tempat yang layak dalam program kerja pemerintah nantinya. Zakat merupakan alat yang menjamin terjadinya aliran kekayaan dari kelompok the have kepada kelompok the have not. Ajaran Islam sendiri sangat mengecam konsentrasi kekayaan ditangan segelintir kelompok kaya dan elite penguasa. Islam berupaya mendorong terjadinya distribusi pendapatan dan kekayaan yang lebih berkeadilan. Memang, kaya miskin adalah sunnatullah. Siapapun tidak akan bisa berpaling dari kenyataan ini. Tetapi hal ini bukan berarti kelompok elite bisa dengan sedemikian mudahnya mengendalikan peredaran kekayaan dan aset agar berputar di lingkaran mereka saja. Perlu ada mekanisme khusus yang mampu menciptakan kucuran aset pada kelompok miskin. Disinilah urgensinya zakat. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR harus memiliki komitmen kuat didalam pemberdayaan zakat di Indonesia.
Jika kita telaah secara cermat, maka dapat disimpulkan bahwa potensi zakat dan wakaf di Indonesia sangatlah besar. Berdasarkan data yang ada, potensi zakat di negeri ini mencapai 7 trilliun setiap tahunnya. Belum lagi ditambah dengan potensi wakaf, terutama wakaf tunai, yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai aktivitas yang produktif, termasuk mengentaskan problematika kemiskinan di Indonesia. Kita mengetahui bahwa masalah kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia. Tidak kurang dari 7 persen penduduk Indonesia hidup dengan pendapatan per kapita dibawah 1 dolar AS setiap harinya, dan sekitar 50 persen lainnya hidup dengan tingkat pendapatan per kapita kurang dari 2 dolar AS setiap harinya. Padahal, kalau kita melihat potensi kekayaan alam Indonesia, maka sesungguhnya kita memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Demikian besarnya potensi kekayaan alam kita, sampai-sampai—meminjam istilah Jaya Suprana—rumput pun bisa dijadikan sebagai sumber bisnis. Namun demikian, akibat salah urus dan salah kelola, segala potensi yang hebat itu belum dapat dimanfaatkan dan dioptimalkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu, segala potensi yang dapat memungkinkan terbebaskannya bangsa ini dari himpitan masalah ekonomi, harus menjadi prioritas kita bersama. Diantara potensi tersebut adalah potensi zakat dan wakaf yang sedemikian besar, namun belum mendapat perhatian yang memadai. Padahal, menurut penulis, jika saja dana zakat dan wakaf ini mampu dikelola dengan baik, maka paling tidak, akan mampu mereduksi tingkat kemiskinan di Indonesia. Malaysia pun telah membuktikan, bahwa pengelolaan zakat yang tepat dan terpadu mampu membantu upaya pengentasan kemiskinan yang ada. Kita pun menyadari bahwa masalah kemiskinan ini adalah masalah pelik yang harus dijadikan sebagai musuh bersama bangsa ini. Bahkan menurut Juan Somavia, salah seorang ekonom, bahwa “the unfinished business of the 21st century is the eradication of poverty� (United Nations World Summit for Social Development, 1995). Masalah kemiskinan telah menjadi momok yang menakutkan dunia, apalagi jika melihat fakta, bahwa sekitar 1,2 milyar populasi dunia hidup dengan pendapatan dibawah 1 dolar per hari dan hampir 2,8 milyar lainnya hidup dengan pendapatan dibawah 2 dolar per hari. Sungguh merupakan angka yang mengerikan. Sementara ketimpangan semakin menjadi-jadi, dimana 15 persen penduduk dunia menghasilkan pendapatan 80 persen dari total pendapatan dunia, sedangkan 85 persen lainnya hanya menerima penghasilan 20 persen saja (Michael P Todaro, 2002). Kembali berbicara mengenai kondisi Indonesia, menurut penulis, sudah saatnya pemerintah lebih memperhatikan potensi dalam negeri didalam upaya mengentaskan kemiskinan. Momentum pemilihan langsung Presiden / Wapres ini harus dijadikan sebagai titik tolak penegakan komitmen pemberantasan kemiskinan yang semakin akut di negara ini. Untuk itu, presiden mendatang harus menjadikan agenda pemberantasan kemiskinan sebagai agenda utama kabinet, disamping agenda lain tentunya seperti pemberantasan korupsi. Sektor zakat dan wakaf harus mendapat tempat yang layak dalam program kerja pemerintah nantinya. Zakat merupakan alat yang menjamin terjadinya aliran kekayaan dari kelompok the have kepada kelompok the have not. Ajaran Islam sendiri sangat mengecam konsentrasi kekayaan ditangan segelintir kelompok kaya dan elite penguasa. Islam berupaya mendorong terjadinya distribusi pendapatan dan kekayaan yang lebih berkeadilan. Memang, kaya miskin adalah sunnatullah. Siapapun tidak akan bisa berpaling dari kenyataan ini. Tetapi hal ini bukan berarti kelompok elite bisa dengan sedemikian mudahnya mengendalikan peredaran kekayaan dan aset agar berputar di lingkaran mereka saja. Perlu ada mekanisme khusus yang mampu menciptakan kucuran aset pada kelompok miskin. Disinilah urgensinya zakat. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR harus memiliki komitmen kuat didalam pemberdayaan zakat di Indonesia.
Argumentasi kementerian zakat & wakaf
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi usulan agar kementerian zakat dan wakaf ini dimasukkan kedalam pembahasan Pansus RUU Kementerian Negara. Pertama, mayoritas penduduk bangsa Indonesia adalah ummat Islam. Dalam logika demokrasi, maka kepentingan mayoritas adalah sebuah keniscayaan yang perlu diakomodasi, walaupun tetap dengan tidak mengabaikan hak-hak minoritas. Sebagai umat mayoritas, sudah sepantasnyalah pemerintah memberikan perhatian yang lebih. Apalagi jika kita mau jujur, mayoritas penduduk miskin di negara kita adalah umat Islam. Daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang menjadi kantong kemiskinan adalah wilayah yang didiami oleh mayoritas umat Islam. Kedua, dengan jumlah potensi dana zakat yang sedemikian besar, maka sudah sewajarnyalah jika status institusi yang mengelola zakat dapat setingkat kementerian negara. Diharapkan dengan hal tersebut, maka segala hambatan regulasi dan birokrasi, maupun teknis operasional dapat diminimalisir. Sebagai contoh adalah ketentuan yang mengatur zakat sebagai pengurang pajak, yang hingga saat ini masih belum jelas implementasinya. Diharapkan melalui koordinasi langsung antara kementerian keuangan dengan kementerian zakat, maka mekanisme pelaksanaannya dapat diatur lebih jelas dan lebih tepat sasaran, misalnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Memang kita telah memiliki BAZNAS sebagai konsekuensi dari UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Namun bagi penulis, itu saja belum cukup. Perlu status institusi yang lebih tinggi, yaitu dalam bentuk kementerian negara. Ketiga, dengan adanya kementerian ini, maka diharapkan akan menimbulkan komitmen yang lebih kuat didalam upaya penggalian potensi zakat yang belum tergarap, dan akan membuat undang-undang dan aturan lain yang terkait dengan zakat menjadi lebih bermakna. Kementerian inipun nantinya, dengan bekerjasama dengan institusi penegak hukum yang ada, diharapkan mampu mendorong proses penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang secara hukum telah terkategorikan sebagai wajib zakat (muzakki), namun tidak memiliki komitmen untuk menunaikan kewajibannya. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana dengan kedudukan BAZNAS yang sudah ada, termasuk berbagai LAZ yang telah terakreditasi. Menurut hemat penulis, peningkatan status kementerian negara bukan berarti merubah mekanisme yang sudah berjalan selama ini. BAZNAS akan berada dibawah kendali penuh kementerian ini, sementara LAZ-LAZ yang sudah terakreditasi tetap dapat melaksanakan aktivitasnya seperti semula. Nantinya kementerian zakat dan wakaf inilah yang akan mengatur mekanisme koordinasi dan kerjasama antar lembaga zakat, demi terciptanya sinergisitas program, termasuk dengan menciptakan standarisasi pengelolaan zakat. Standarisasi ini mutlak dilakukan untuk memudahkan mekanisme pengelolaan, pemanfaatan, sekaligus pertanggungjawaban dana zakat dan wakaf. Yang tidak kalah penting juga adalah, kementerian ini nantinya harus memiliki database yang lengkap mengenai jumlah muzakki dan mustahik, termasuk mengeluarkan NPWZ (Nomor Pokok Wajib Zakat) bagi setiap warganegara yang terkategorikan sebagai muzakki. Adapun status kementerian ini, menurut penulis, cukup sebagai kementerian negara non portofolio.
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi usulan agar kementerian zakat dan wakaf ini dimasukkan kedalam pembahasan Pansus RUU Kementerian Negara. Pertama, mayoritas penduduk bangsa Indonesia adalah ummat Islam. Dalam logika demokrasi, maka kepentingan mayoritas adalah sebuah keniscayaan yang perlu diakomodasi, walaupun tetap dengan tidak mengabaikan hak-hak minoritas. Sebagai umat mayoritas, sudah sepantasnyalah pemerintah memberikan perhatian yang lebih. Apalagi jika kita mau jujur, mayoritas penduduk miskin di negara kita adalah umat Islam. Daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang menjadi kantong kemiskinan adalah wilayah yang didiami oleh mayoritas umat Islam. Kedua, dengan jumlah potensi dana zakat yang sedemikian besar, maka sudah sewajarnyalah jika status institusi yang mengelola zakat dapat setingkat kementerian negara. Diharapkan dengan hal tersebut, maka segala hambatan regulasi dan birokrasi, maupun teknis operasional dapat diminimalisir. Sebagai contoh adalah ketentuan yang mengatur zakat sebagai pengurang pajak, yang hingga saat ini masih belum jelas implementasinya. Diharapkan melalui koordinasi langsung antara kementerian keuangan dengan kementerian zakat, maka mekanisme pelaksanaannya dapat diatur lebih jelas dan lebih tepat sasaran, misalnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Memang kita telah memiliki BAZNAS sebagai konsekuensi dari UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Namun bagi penulis, itu saja belum cukup. Perlu status institusi yang lebih tinggi, yaitu dalam bentuk kementerian negara. Ketiga, dengan adanya kementerian ini, maka diharapkan akan menimbulkan komitmen yang lebih kuat didalam upaya penggalian potensi zakat yang belum tergarap, dan akan membuat undang-undang dan aturan lain yang terkait dengan zakat menjadi lebih bermakna. Kementerian inipun nantinya, dengan bekerjasama dengan institusi penegak hukum yang ada, diharapkan mampu mendorong proses penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang secara hukum telah terkategorikan sebagai wajib zakat (muzakki), namun tidak memiliki komitmen untuk menunaikan kewajibannya. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana dengan kedudukan BAZNAS yang sudah ada, termasuk berbagai LAZ yang telah terakreditasi. Menurut hemat penulis, peningkatan status kementerian negara bukan berarti merubah mekanisme yang sudah berjalan selama ini. BAZNAS akan berada dibawah kendali penuh kementerian ini, sementara LAZ-LAZ yang sudah terakreditasi tetap dapat melaksanakan aktivitasnya seperti semula. Nantinya kementerian zakat dan wakaf inilah yang akan mengatur mekanisme koordinasi dan kerjasama antar lembaga zakat, demi terciptanya sinergisitas program, termasuk dengan menciptakan standarisasi pengelolaan zakat. Standarisasi ini mutlak dilakukan untuk memudahkan mekanisme pengelolaan, pemanfaatan, sekaligus pertanggungjawaban dana zakat dan wakaf. Yang tidak kalah penting juga adalah, kementerian ini nantinya harus memiliki database yang lengkap mengenai jumlah muzakki dan mustahik, termasuk mengeluarkan NPWZ (Nomor Pokok Wajib Zakat) bagi setiap warganegara yang terkategorikan sebagai muzakki. Adapun status kementerian ini, menurut penulis, cukup sebagai kementerian negara non portofolio.
0 komentar:
Posting Komentar