KUMPULAN EBOOK GRATIS

cobaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

rrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Fiqih Zakat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fiqih Zakat. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 21 Juli 2012

Software Penghitung Zakat

Pembagian Zakat Fitrah pada 1431 Hijriyah kita semua berharap bahwa pada tahun ini berjalan dengan lancar dan aman dibandingkan dengan tahun yang lalu, Untuk tahun lalu pembagian zakat fitrah bisa terbagi tidak merata. Nah jika anda ingin mendapatkan software spesial untuk menghitung zakat anda. Anda bisa mendonwloadnya Download disini atau juga bisa Disini Jika anda sudah memilikinya anda bisa menghitung kira-kira zakat anda berapa? karena software ini menghitung zakat anda sesuai dengan penghasilan anda selama ini.

Selamat Bermanfaat

Rabu, 18 Juli 2012

Urgensi Kementrian Zakat dan Wakaf

Urgensi Kementrian Zakat dan Wakaf - Menarik sekali jika kita cermati pembahasan Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Kementerian Negara—atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pansus RUU Kementerian Negara DPR RI—beberapa waktu lalu, dimana telah disepakati sejumlah pos kementerian negara, baik yang bersifat portofolio maupun non portofolio. Secara keseluruhan, Pansus telah membahas 31 kementerian negara, mencakup 21 kementerian negara portofolio dan 10 kementerian negara non portofolio. Menarik sekali jika kita cermati pembahasan Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang tentang Kementerian Negara—atau yang lebih dikenal dengan sebutan Pansus RUU Kementerian Negara DPR RI—beberapa waktu lalu, dimana telah disepakati sejumlah pos kementerian negara, baik yang bersifat portofolio maupun non portofolio. Secara keseluruhan, Pansus telah membahas 31 kementerian negara, mencakup 21 kementerian negara portofolio dan 10 kementerian negara non portofolio. Menurut rencana, pembahasan tersebut akan dirampungkan pada masa persidangan akhir DPR RI periode 1999-2004, yaitu pada bulan September 2004 ini. Dengan demikian, maka Presiden RI mendatang tidak akan dengan mudah merubah atau mengotak-atik susunan kementerian yang ada sesuai dengan kepentingan pribadinya. Penulis tidak bermaksud mengomentari susunan kementerian yang ada, tetapi penulis ingin melemparkan sebuah gagasan kementerian baru yang mungkin luput dari perhatian Pansus, yaitu kementerian zakat dan wakaf. Penulis menyadari bahwa gagasan ini bisa saja menimbulkan pro dan kontra, namun paling tidak, para anggota Pansus diharapkan berkenan untuk mempertimbangkan usulan ini.  
 
 
 
Potensi Zakat & Wakaf yang luar biasa
Jika kita telaah secara cermat, maka dapat disimpulkan bahwa potensi zakat dan wakaf di Indonesia sangatlah besar. Berdasarkan data yang ada, potensi zakat di negeri ini mencapai 7 trilliun setiap tahunnya. Belum lagi ditambah dengan potensi wakaf, terutama wakaf tunai, yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai aktivitas yang produktif, termasuk mengentaskan problematika kemiskinan di Indonesia. Kita mengetahui bahwa masalah kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia. Tidak kurang dari 7 persen penduduk Indonesia hidup dengan pendapatan per kapita dibawah 1 dolar AS setiap harinya, dan sekitar 50 persen lainnya hidup dengan tingkat pendapatan per kapita kurang dari 2 dolar AS setiap harinya. Padahal, kalau kita melihat potensi kekayaan alam Indonesia, maka sesungguhnya kita memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Demikian besarnya potensi kekayaan alam kita, sampai-sampai—meminjam istilah Jaya Suprana—rumput pun bisa dijadikan sebagai sumber bisnis. Namun demikian, akibat salah urus dan salah kelola, segala potensi yang hebat itu belum dapat dimanfaatkan dan dioptimalkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu, segala potensi yang dapat memungkinkan terbebaskannya bangsa ini dari himpitan masalah ekonomi, harus menjadi prioritas kita bersama. Diantara potensi tersebut adalah potensi zakat dan wakaf yang sedemikian besar, namun belum mendapat perhatian yang memadai. Padahal, menurut penulis, jika saja dana zakat dan wakaf ini mampu dikelola dengan baik, maka paling tidak, akan mampu mereduksi tingkat kemiskinan di Indonesia. Malaysia pun telah membuktikan, bahwa pengelolaan zakat yang tepat dan terpadu mampu membantu upaya pengentasan kemiskinan yang ada. Kita pun menyadari bahwa masalah kemiskinan ini adalah masalah pelik yang harus dijadikan sebagai musuh bersama bangsa ini. Bahkan menurut Juan Somavia, salah seorang ekonom, bahwa “the unfinished business of the 21st century is the eradication of povertyâ€? (United Nations World Summit for Social Development, 1995). Masalah kemiskinan telah menjadi momok yang menakutkan dunia, apalagi jika melihat fakta, bahwa sekitar 1,2 milyar populasi dunia hidup dengan pendapatan dibawah 1 dolar per hari dan hampir 2,8 milyar lainnya hidup dengan pendapatan dibawah 2 dolar per hari. Sungguh merupakan angka yang mengerikan. Sementara ketimpangan semakin menjadi-jadi, dimana 15 persen penduduk dunia menghasilkan pendapatan 80 persen dari total pendapatan dunia, sedangkan 85 persen lainnya hanya menerima penghasilan 20 persen saja (Michael P Todaro, 2002). Kembali berbicara mengenai kondisi Indonesia, menurut penulis, sudah saatnya pemerintah lebih memperhatikan potensi dalam negeri didalam upaya mengentaskan kemiskinan. Momentum pemilihan langsung Presiden / Wapres ini harus dijadikan sebagai titik tolak penegakan komitmen pemberantasan kemiskinan yang semakin akut di negara ini. Untuk itu, presiden mendatang harus menjadikan agenda pemberantasan kemiskinan sebagai agenda utama kabinet, disamping agenda lain tentunya seperti pemberantasan korupsi. Sektor zakat dan wakaf harus mendapat tempat yang layak dalam program kerja pemerintah nantinya. Zakat merupakan alat yang menjamin terjadinya aliran kekayaan dari kelompok the have kepada kelompok the have not. Ajaran Islam sendiri sangat mengecam konsentrasi kekayaan ditangan segelintir kelompok kaya dan elite penguasa. Islam berupaya mendorong terjadinya distribusi pendapatan dan kekayaan yang lebih berkeadilan. Memang, kaya miskin adalah sunnatullah. Siapapun tidak akan bisa berpaling dari kenyataan ini. Tetapi hal ini bukan berarti kelompok elite bisa dengan sedemikian mudahnya mengendalikan peredaran kekayaan dan aset agar berputar di lingkaran mereka saja. Perlu ada mekanisme khusus yang mampu menciptakan kucuran aset pada kelompok miskin. Disinilah urgensinya zakat. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR harus memiliki komitmen kuat didalam pemberdayaan zakat di Indonesia.  
 
Argumentasi kementerian zakat & wakaf
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi usulan agar kementerian zakat dan wakaf ini dimasukkan kedalam pembahasan Pansus RUU Kementerian Negara. Pertama, mayoritas penduduk bangsa Indonesia adalah ummat Islam. Dalam logika demokrasi, maka kepentingan mayoritas adalah sebuah keniscayaan yang perlu diakomodasi, walaupun tetap dengan tidak mengabaikan hak-hak minoritas. Sebagai umat mayoritas, sudah sepantasnyalah pemerintah memberikan perhatian yang lebih. Apalagi jika kita mau jujur, mayoritas penduduk miskin di negara kita adalah umat Islam. Daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang menjadi kantong kemiskinan adalah wilayah yang didiami oleh mayoritas umat Islam. Kedua, dengan jumlah potensi dana zakat yang sedemikian besar, maka sudah sewajarnyalah jika status institusi yang mengelola zakat dapat setingkat kementerian negara. Diharapkan dengan hal tersebut, maka segala hambatan regulasi dan birokrasi, maupun teknis operasional dapat diminimalisir. Sebagai contoh adalah ketentuan yang mengatur zakat sebagai pengurang pajak, yang hingga saat ini masih belum jelas implementasinya. Diharapkan melalui koordinasi langsung antara kementerian keuangan dengan kementerian zakat, maka mekanisme pelaksanaannya dapat diatur lebih jelas dan lebih tepat sasaran, misalnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Memang kita telah memiliki BAZNAS sebagai konsekuensi dari UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Namun bagi penulis, itu saja belum cukup. Perlu status institusi yang lebih tinggi, yaitu dalam bentuk kementerian negara. Ketiga, dengan adanya kementerian ini, maka diharapkan akan menimbulkan komitmen yang lebih kuat didalam upaya penggalian potensi zakat yang belum tergarap, dan akan membuat undang-undang dan aturan lain yang terkait dengan zakat menjadi lebih bermakna. Kementerian inipun nantinya, dengan bekerjasama dengan institusi penegak hukum yang ada, diharapkan mampu mendorong proses penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang secara hukum telah terkategorikan sebagai wajib zakat (muzakki), namun tidak memiliki komitmen untuk menunaikan kewajibannya. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana dengan kedudukan BAZNAS yang sudah ada, termasuk berbagai LAZ yang telah terakreditasi. Menurut hemat penulis, peningkatan status kementerian negara bukan berarti merubah mekanisme yang sudah berjalan selama ini. BAZNAS akan berada dibawah kendali penuh kementerian ini, sementara LAZ-LAZ yang sudah terakreditasi tetap dapat melaksanakan aktivitasnya seperti semula. Nantinya kementerian zakat dan wakaf inilah yang akan mengatur mekanisme koordinasi dan kerjasama antar lembaga zakat, demi terciptanya sinergisitas program, termasuk dengan menciptakan standarisasi pengelolaan zakat. Standarisasi ini mutlak dilakukan untuk memudahkan mekanisme pengelolaan, pemanfaatan, sekaligus pertanggungjawaban dana zakat dan wakaf. Yang tidak kalah penting juga adalah, kementerian ini nantinya harus memiliki database yang lengkap mengenai jumlah muzakki dan mustahik, termasuk mengeluarkan NPWZ (Nomor Pokok Wajib Zakat) bagi setiap warganegara yang terkategorikan sebagai muzakki. Adapun status kementerian ini, menurut penulis, cukup sebagai kementerian negara non portofolio.

Zakat dan Pendidikan

Zakat dan Pendidikan - Negara kaya raya yang laksana zamrud di katulistiwa dengan perairan luas yang konon bukan lautan tapi merupakan kolam susu dengan tanah yang mahasubur hingga tongkat dan batu jadi tanaman ini telah berusia enam puluh dua tahun dengan enam kali ganti pimpinan. Setengah lebih usianya, yakni selama 32 tahun pernah digawangi oleh sebuah keluarga besar, Keluraga Cendana. Suatu kali, pernah dipimpin bapak dan anak seperti sebuah dinasti. Lalu pada kesempatan lain pernah juga dipimpin oleh ilmuwan jenius alang kepalang, dan pada kali lainnya pernah dipimpin oleh seorang kiai. Beda orang dan kepribadian, beda pula gaya kepemimpinan dan kebijakkannya. Namun dari pengalaman dipimpin oleh bermacam-macam tipe pimpinan, tetap saja menyisakan sebuah titik persamaan realita kehidupan bangsa Indonesia: Anggaran pendidikan sebesar 20 persen yang merupakan amanah Undang-Undang Dasar 1945 belum juga terwujud.
Zakat untuk Pendidikan
Pendidikan adalah investasi masa depan untuk melangsungkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemajuan suatu bangsa di segala aspek kehidupan seperti pertumbuhan dan perkembangan perekonomian berbanding lurus dengan kualitas pendidikan bangsa tersebut. konon, menurut para pakar (jangan tanya pakar yang mana) makin banyak Doktor di suatu negara, mungkin istilahnya Doctor per Kapita—tentu gelar Doktor beneran, bukan gelar yang dijual—makin cepat kemajuan tersebut tercapai.
Terobosan beberapa lembaga filantropi Islam—Lembaga Pengelola Zakat, baik Badan Amil Zakat (BAZ) maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ)—seperti yang dilakukan BAZNAS-Dompet Dhuafa bisa dibilang sebagai kepedulian dan kesadaran masyarakat agamis terhadap nasib dunia pendidikan di Indonesia. Pada bulan Agustus 2007, bertepatan dengan moment kemerdekaan BAZNAS-Dompet Dhuafa menggulirkan sebuah program peduli pendidikan dengan tema “Merdeka adalah bebas dari Kebodohan. Bantu anak Indonesia tetap sekolah”. Program ini bertujuan memberikan bantuan biaya pendidikan yang bersumber dari dana zakat. BAZNAS-Dompet Dhuafa juga telah memiliki sebuah sekolah khusus untuk kaum tak berpunya, SMART Ekselensia Indonesia yang berlokasi di Parung Bogor serta memberikan beasiswa bagi mahasiswa yang belajar di Perguruan Tinggi Negeri yang dikenal dengan Program Beastudi Etos.
Zakat untuk pendidikan sebetulnya telah lama berjalan di masyarakat terlebih dengan munculnya beberapa lembaga pengelola zakat yang kreatif, amanah dan professional di Indonesia. Hampir seluruh BAZ dan LAZ di Indonesia termasuk BAZIS DKI yang telah eksis sejak tahun 1960an memiliki program peduli pendidikan dengan memberikan bantuan biaya pendidikan kepada siswa-siswa yang berasal dari kalangan tidak mampu dari pendidikan dasar hingga jenjang perguruan tinggi.
Peran serta zakat yang murni bersumber dari kalangan grass root untuk membaiyai pendidikan sangat mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan di Indoensia. Pengalokasian dana zakat pada sektor pendidikan oleh lembaga pengelola zakat meski masih memiliki prosentase lebih kecil jika dibandingkan dengan alokasi untuk pemberdayaan ekonomi berupa pemberian modal, sangat membantu masyarakat miskin dalam mengakses pendidikan. Kemampuan mengakses lembaga pendidikan oleh kaum dhuafa inilah yang oleh BAZNAS-Dompet Dhuafa dimaknai sebagai sebuah kemerdekaan. Alih-alih menunggu—tanpa kepastian—anggaran sebesar 20 persen untuk pendidikan dari pemerintah, masyarakat—dalam hal ini diwakili oleh lembaga pengelola zakat—telah bisa menjawab ketidakpastian tersebut.

Butuh Dukungan
Maraknya pertumbuhan lembaga pengelola zakat serta semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menunaikan zakat merupakan sebuah kabar gembira tak terkecuali bagi dunia pendidikan. Dengan semakin banyaknya perolehan dana zakat oleh lembaga pengelola zakat, semakin tinggi pula dana yang bisa dialokasikan untuk sektor tersebut.
Fenomena di atas—keprihatinan sekaligus kepedulian masyarakat terhadap pendidikan—haruslah disikapi dengan tangan terbuka dan kooperatif oleh pemerintah. Sikap ini berupa upaya timbal balik pemerintah yang diwujudkan dengan keseriusan pemerintah dalam memerhatikan perzakatan di Indonesia. Dalam hal institusi, itikad baik pemerintah memang telah ditunjukkan dengan menyatunya raksasa lembaga pengelola zakat pemerintah (BAZNAS) dengan raksasa lembaga pengelola zakat swasta (Dompet Dhuafa) hampir setahun yang lalu. Tapi dalam tataran payung hukum, yakni Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat di Indonesia belum memberikan perubahan yang signifikan dalam menaikkan jumlah wajib zakat: alih-alih memberi tekanan kepada muzaki, UU tersebut justru memberi pengawasan ketat kepada Lembaga Pengelola Zakat, satu-satunya ujung tombak penggiat zakat.
Dengan memfasilitasi warga negara yang beragama Islam dalam menunaikan zakat, pemerintah tak hanya memberi kebebasan kepada warga negara dalam menjalankan agama dan kepercayaan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 29 ayat (1) dan (2), namun secara langsung pemerintah telah mempercepat cita-cita bangsa mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam preambule. Dalam bahasa yang mudah dipahami, masalah zakat bukan lagi melulu masalah umat Islam tetapi telah menjadi masalah bersama bangsa Indonesia. Peran pemerintah dan masyarakat secara simultan merupakan akselerasi bagi perwujudan amanah para pendiri bangsa, anggaran pendidikan sebesar 20 persen. Sudahkah kita merdeka saat ini? Saya yakin Anda punya jawabannya sendiri.

Penulis adalah Mahasisawa Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI. Sebelum ke SEBI, penulis pernah menempuh pendidikan ikatan dinas di Politeknik Gajah Tunggal Tangerang.
Pada bulan Juni 2006, bersama 3 orang Mahasiswa Politeknik Gajah Tunggal, pernah mengikuti Kontes Robot Indonesia 2006 yang diselenggarakan oleh Dirjen DIKTI dan UI. Namun pada tahun yang sama, penulis DO dari PTS tersebut. Pada tahun yang sama pula, penulis mendapat kesempatan kuliah di SEBI atas beasiswa dari Institut Manajemen Zakat dan Lembaga Pelayan Masyarakat Dompet Dhuafa.

Zakat Profesi (Penghasilan)

Zakat Profesi (Penghasilan) - Zakat atas penghasilan atau zakat  profesi adalah istilah yang muncul dewasa ini. Adapun istilah Ulama salaf bagi zakat atas penghasilan atau profesi biasanya di sebut dengan “Almalul mustafad”. Yang termasuk dalam kategori zakat mustafad adalah,  pendapatan yang dihasilkan dari profesi non zakat yang dijalani,  seperti gaji pegawai negeri/swasta, konsultan, dokter, dan lain-lain, atau rezeki yang di hasilkan secara tidak terduga seperti undian, kuis berhadiah (yang tidak mengandung unsur judi), dan lain-lain.


Mayoritas Ulama’ tidak mewajibkan zakat atas hasil yang didapat dengan cara di atas. Namun ulama’ kontemporer seperti D.R.Yusuf Qordlowi berpendapat wajib di keluarkan zakatnya, hal demikian merujuk pada salah satu riwayat pendapat dari Imam Ahmad bin Hanbal (Madzhab Hanbali) dan beberapa riwayat yang menjelaskan hal tersebut.[1]
Diantaranya adalah riwayat dari Ibnu Mas’ud, Mu’awiyyah, Awza’i dan Umar bin Abdul Aziz yang menjelaskan bahwa beliau mengambil zakat dari ‘athoyat (gaji rutin), jawaiz (hadiah) dan almadholim (barang ghosob/curian yang di kembalikan). Abu Ubaid meriwayatkan,  Adalah Umar  bin Abdul Aziz, memberi upah pada pekerjanya dan mengambil zakatnya, dan apabila mengembalikan almadholim (barang ghosob/curiang yang di kembalikan) diambil zakatnya, dan beliau juga mengambil zakat dari ‘athoyat (gaji rutin) yang di berikan kepada yang menerimanya.
Atas dalil-dalil tersebut di atas dengan merujuk pada Madzhab Hanbali, beberapa  ulama kontemporer berpendapat  adanya zakat atas upah atau hadiah yang di peroleh seseorang. Dengan demikian apabila seseorang dengan hasil profesinya atau hadiah yang didapat menjadi kaya, maka ia wajib zakat atas kekayaan tersebut. Akan tetapi  jika hasil yang di dapat hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, atau lebih sedikit, maka baginya tidak wajib zakat, bahkan apabila hasilnya tidak mencukupi untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya maka ia tergolong mustahiq zakat.[2]

Nishob dan kadar zakat mustafad
Ada beberapa pendapat yang muncul mengenai nishob dan kadar zakat profesi, yang di kemukakan oleh beberapa Ulama kontemporer, berikut masing-masing pendapat tersebur :
  1. Menganalogikan (men-qiyas-kan) secara mutlak dengan hasil pertanian,  baik  nishob  maupun  kadar  zakatnya.  Dengan  demikian nishobnya adalah setara dengan nishob hasil pertanian yaitu 652,5 kg beras (hasil konversi D.R.Wahbah Azzuhaili), kadar yang harus di keluarkan 5% dan harus dikeluarkan setiap menerima.
  2. Menganalogikan nishobnya dengan zakat hasil pertanian, sedangkan kadar zakatnya dianalogkan dengan emas yakni 2,5%. Hal tersebut berdasarkan atas qiyas atas kemiripan (qiyas syabah) terhadap karakteristik harta zakat yang telah ada, yakni :
    • Model memperoleh harta tersebut mirip dengan panen hasil pertanian. Dengan demikian maka dapat di qiyaskan dengan zakat pertanian dalam hal nishobnya.
    • Model bentuk harta yang diterima sebagai penghasilan adalah  berupa mata uang. Oleh sebab itu, bentuk harta ini dapat diqiyaskan dengan zakat emas dan perak (naqd) dalam hal kadar zakat yang harus di keluarkan    yaitu 2,5%.
Adapun pola penghitungan nishobnya adalah dengan mengakumulasikan pendapatan perbulan pada akhir tahun, atau di tunaikan setiap menerima, apabila telah mencapai nishob
  1. Mengkategorikan dalam zakat emas atau perak dengan nengacu pada pendapat yang menyamakan mata uang masa kini dengan emas atau perak (lihat penjelasan zakat uang). Dengan demikian nishobnya adalah setara dengan nishob emas atau perak sebagaimana penjelasan terdahulu, dan kadar yang harus dikeluarkan adalah 2,5%. Sedangkan waktu penunaian zakatnya adalah segera setelah menerima (tidak menuggu haul).
Pendapat ketiga inilah yang saya ambil sebagai pegangan,  karena sesuai dengan yang tercantum didalam kitab Madzhab Hanbali yang menjadi acuan atas diwajibkannya zakat profesi dan pendapatan tak terduga  tanpa harus menganalogkan (men-qiyas-kan) secara paksa dengan zakat-zakat yang lain dengan mempertimbangkan kemampuan menganalogkan (men-qiyas-kan) permasalahan,  sehingga menjadi lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan hukum.          

Zakat mustafad dari  hasil hadiah undian atau kuis
Apabila harta yang diperoleh dari hasil undian atau kuis baik dalam bentuk uang atau barang sudah setara dengan  nishob perak maka zakat yang di keluarkan adalah 2,5%, sebagaimana zakat emas dan perak, dan di tunaikan segera setelah diterima.
Hadiah berupa uang tunai yang pajakanya ditanggung oleh penerima, zakatnya dihitung setelah dipotong pajak (after tax), hal demikian disebabkan pada umumnya apabila pajak hadiah ditanggung oleh penerima , maka hadiah yang diterima sudah dipotong pajak, sehingga kenyataan hasil yang diterima adalah sejumlah  yang sudah terpotong pajak. Sedangkan hadiah yang pajaknya tidak ditanggung oleh penerima atau hadiah berupa barang, baik pajaknya ditanggung oleh penerima atau tidak, maka zakatnya dihitung sebelum pajak (before tax) karena kewajiban pajak tidak berpengaruh atas penghitungan zakat dari hasil yang diterima.

Contoh 1:
Bapak Sulaiman memperoleh hadiah sebesar  Rp 100.000.000. pajak hadiah ditanggung pemenang. Cara menghitung zakatnya adalah :
Hadiah                                              Rp 100.000.000.
Pajak 20% x 100.000.000.                  Rp   20.000.000.
Total yang diterima                            Rp   80.000.000.
Maka zakat yang dikeluarkan adalah  2,5% x Rp 80.000.000 = 2.000.000.
Nishob setara dengan  543,35gr perak, asumsi harga perak @ Rp 5000. = 543,35 x 5000 =  Rp 2.716.750.

Contoh 2:
Bapak Samsul memperoleh hadiah mobil senilai 200.000.000.pajak hadiah ditanggung atau tidak di tanggung pemenang. Cara menghiting zakatnya adalah:
Nilai hadiah                                       Rp 200.000.000.
Pajak 20% x 200.000.000.                  Rp  40.000.000.
Maka zakat yang dikeluarkan adalah : 2,5% x 200.000.000 = 5.000.000. (pajak hadiah tidak mengurangi nilai zakat yang dihitung).

Fiqih Zakat - Zakat Pertanian

Ada beberapa pendekatan dalam menentukan macam-macam harta yang wajib dizakati, yakni pendekatan iqor (harta tidak bergerak) dan manqul (harta bergerak). Atau dengan pendekatan alkhorij( zakat dari hasil yang dicapai) dan ro’sul maal(zakat atas modal).Saya menggunakan pendekatan yang kedua yaitu pendekatan alkhorij dan ro’sulmaal.
Zakat atas`hasil yang dicapai (alkhorij)
Zakat atas hasil yang dicapai berbeda dengan zakat atas modal dalam hal pembayarannya. Harta yang wajib dizakati berdasarkan hasil yang dicapai, penunaian zakatnya segera setelah didapat hasilnya tanpa terikat dengan syarat haul. Harta yang termasuk dalam kategori ini mengikuti Madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hanbali adalah:

1.       Zakat atas hasil pertanian.
Yakni, semua tumbuh-tumbuhan atau tanaman yang bernilai ekonomis, seperti biji-bijian, umbi-umbian, sayur-sayuran, buah-buahan, rumput-rumputan, dan lain-lain. Demikian menurut pendapat Madzhab Hanafi.

Sedangkan menurut Madzhab Syafi’i, yang termasuk dalam golongan hasil pertanian hanyalah terbatas pada hasil pertanian yang dapat digunakan sebagai makanan pokok, seperti padi, gandum, kedelai, jagung, kacang, dan lain-lain, serta buah kurma dan anggur.

Semua hasil pertanian tersebut harus dikeluarkan segera zakatnya setiap kali musim panen apabila hasil panen sudah mencapai nishob (Lihat tabel nishob). Namun menurut Madzhab Hanafi berapapun yang dihasilkan dari hasil pertanian tersebut harus dikeluarkan zakatnya 10%, tanpa disyaratkan mencapai jumlah tertentu (nishob).

Dalam madzhab Syafi’i, lahan pertanian yang produksi dalam satu tahun, hitungan nishobnya menggunakan cara akumulasi dari beberapa hasil panen dalam satu tahun.

Kadar zakat untuk hasil pertanian, apabila menggunakan pengairan secara alami seperti, air hujan, sungai, mata air, adalah 10%. Sedangkan yang menggunakan alat-alat tertentu, sekira air tidak dapat menjangkau pada lahan pertanian kecuali dengan alat tersebut, maka kadar zakatnya adalah 5%.
Adapun biaya-biaya yang dikeluarkan selain untuk alat pengairan tersebut diatas, seperti pupuk, obat-obatan, upah petugas irigasi (ulu-ulu=jawa), dan lain-lain, tidak dapat  berpengaruh pada kadar zakat yang harus dikeluarkan, meskipun ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan.

Contoh 1:
Sawah tadah hujan atau menggunakan pengairan sungai, di tanami padi. Hasil panen yang di capai adalah 1500 kg . Zakat yang harus di keluarkan adalah: 10 % x  1500 kg = 150 kg.

Jika pengairannya menggunakan peralatan tertentu sekira air tidak dapat menjang kau tanpanya, maka zakatnya adalah : 5 % x 1500 kg  =  75 kg.
Nishob gabah kering hasil konversi K.H.Muhammad Ma’shum bin ‘Ali adalah 1323,132 kg atau  815,758 kg beras putih.

Contoh 2:
Sawah tadah hujan atau menggunakan pengairan sungai ditanami padi.
pada lahan a  hasil panen yang diperoleh adalah     500 kg.
Pada lahan b hasil panen yang diperoleh adalah     300 kg.
Pada lahan c hasil panen yang diperoleh adalah     500 kg.
Pada lahan d hasil panen yang diperoleh adalah            400 kg
Jumlah                                    1700 kg.  
Zakat yang harus di keluarkan adalah : 10 % x 1700 kg  = 170 kg.

Menurut Madzhab Hanafi zakat pertanian juga dapat ditunaikan dalam bentuk uang setara dengan nilai hasil pertanian yang harus di keluarkan, bukan 10 % dari harga jual.
Contoh :

Sawah tadah hujan atau menggunakan pengairan sungai di tanami padi, menghasilkan panen 1500 kg,  laku terjual  Rp 1.400.000. Harga pasar per 100 kg
Rp 100.000. 

Zakat yang semestinya di keluarkan adalah 150 kg, (= 10 % x 1500 kg).
Dapat juga di tunaikan Rp 150.000. (harga pasar 150 kg).